Senin, 31 Maret 2014

Tanggapan Pertanyaan Tentang Hacking

Pertanyaan:
Bagaimana pendapat saudara dalam menjelaskan aksi solidaritas para pelaku tindak peretasan (hacking) di dunia maya, ketika terjadi konflik dengan negara-negara tetangga (malaysia, australia, singapura). Dilihat dari sudut pandang mereka sebagai warga negara, dalam konteks wawasan nusantara? (berikan sedikitnya dua kutipan berita tentang konflik yang pernah terjadi dan mendorong munculnya aksi-aksi tersebut)?

Jawaban:
Menurut saya penyerangan antar negara atau yang sekarang sering disebut sebagai perang dingin cyber antar negara adalah hal yang umum saat ini dimana merupakan salah satu pembuktian atau pemberontakan warga negara yang kurang puas akan aksi atau sikap dari pemerintahan yang kurang tegas sehingga para peretas tersebut memberontak dan melakukan penyerangan ke situs-situs pemerintahan negara lawan. Aksi ini tentu saja merugikan banyak pihak, baik pihak negara yang diserang maupun negara asal si peretas, dapat merusak/menghapus/merugikan file yang diretas tersebut, dan mencoreng nama baik negara si peretas. Namun hal ini menjadi sesuatu yang sangat di eluelukan juga dimana apabila suatu kelompok peretas dapat berhasil membobol pertahanan lawan, ambil contoh ketika sedang panas-panasnya kasus pulau sipadan dan ligitan yang diakui adalah wilayah Malaysia, kelompok peretas asal Indonesia berhasil mendeface dan membobol ratusan situs pemerintahan dan swasta milik Malaysia membuktikan solidaritas yang tinggi antar warga negara Indonesia sekaligus bentuk pemberontakan akan pengakuan tersebut. sebagai pembuktian bahwa "Jangan main-main dengan Indonesia/Negara Kami" juga akan membuktikan bahwa warga negara yang bukan anggota TNI/Polri dapat tetap menyuarakan aksinya dan membantu melawan musuh menggunakan intelegensi. Namun aksi inipun tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya yang menyulut atau memancing perselisihan.


PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) adalah perusahaan milik pemerintah Indonesia pertama yang membekukan hubungan bisnis dengan Australia menyusul perselisihan kedua negara terkait laporan bahwa Canberra menyadap percakapan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istri dan para menteri.
Puluhan demonstran membakar bendera Australia dan foto Perdana Menteri Tony Abbott di luar gedung kedutaan besar Australia di Jakarta. Mereka meminta pemerintah Indonesia mengusir duta besar Australia, sambil menuntut kepada Canberra agar meminta maaf atas tuduhan mata-mata, yang telah memicu Yudhoyono menurunkan hubungan diplomatik dengan Canberra.
“Kami memutuskan untuk menghentikan perundingan dengan para peternak di Australia untuk sementara waktu hingga pemerintah Australia memenuhi apa yang diminta pemerintah Indonesia untuk mereka lakukan,” kata kepala RNI Ismed Hasan Putro.
“Hal ini sangat penting untuk membangun rasa saling percaya, menghormati dan kesetaraan di masa depan.”
Jangan campur ekonomi dengan politik
Putro yang menolak menyebutkan nama perusahaan-perusahaan Australia, mengatakan RNI telah memulai pembicaraan dengan perusahaan Selandia Baru sebagai kandidat alternatif untuk menggantikan Australia.
September lalu, RNI mengatakan mereka telah mengirim tim ke Australia untuk menjajaki kemungkinan melakukan investasi sekitar Rp. 350 milyar atas tiga atau empat peternakan yang ada, dengan tujuan memasok kebutuhan impor 120.000 hewan ternak setiap tahun ke Indonesia.
Para pejabat Indonesia mengatakan sedang meninjau kembali kerjasama perdagangan dengan Australia, yang nilainya mencapai lebih dari 11 milyar dollar tahun lalu. Meski impor daging sapi dan sapi impor dari Australia masih belum disinggung akan dibekukan.
Indonesia adalah importir besar produk pertanian Australia seperti gandum dan ternak hidup. Sementara Australia adalah pasar ekspor terbesar nomor sepuluh bagi produk-produk asal Indonesia.
”Indonesia sebagai negara harus mengambil langkah tegas terhadap Australia… tapi bisnis tidak boleh dicampur dengan politik,” kata menteri BUMN Dahlan Iskan kepada para wartawan.
http://www.beritasatu.com/nasional-internasional/151512-perang-hacker-indonesia-vs-australia-jangan-serang-situs-pelayanan-sosial.html

KOMENTAR:
Perlakuan tidak simpatik pemerintah Australia kepada WNI di negara itu menyusul Tragedi Bom Bali yang menewaskan puluhan warga Australia tampaknya mulai membuat jengkel kalangan hacker. Namun sebenarnya, kekesalan lebih dipicu oleh pernyataan-pernyataan pejabat tinggi Australia yang menyerang Indonesia dan seringkali dianggap arogan. Bahkan media massa Indonesia juga dituduh sebagai biang yang mempertegang hubungan Indonesia-Australia.
Perang cyber, menurut Jimmy Sproles dan Will Byars dari Computer Ethics Course, bisa dikategorikan sebagai terorisme cyber (cyber-terrorism). Dalam konsep ini orang yang melakukannya bukan lagi dicap sekadar hacktivis, tapi teroris. Yang menjadi sasaran mereka bukan sekadar membobol situs web semata, tapi juga jaringan komputer instalasi militer, pembangkit listrik, pusat kendala lalulintas udara, bank dan jaringan telekomunikasi.
Survei Computer Security Institute (CSI) dan Agen Federal AS (FBI) mencatat, serangan cyber ini tak melulu berwujud serangan virus, seperti dilakukan Code Red tahun 2001 yang menangguk kerugian hingga US$ 2, 6 miliar dan menyebabkan 250 ribu sistem lumpuh hanya dalam tempo 9 jam. Serangan juga berupa pencurian informasi, pembobolan finansial, dan pembajakan.

Mendominasinya hacker amatiran memang masuk akal mengingat jalan untuk menjadi hacker, bukan pekerjaan sulit. Asal memiliki 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar